|
|
POTENSI SUMBERDAYA MINERALPotensi sumberdaya mineral dan energi di Provinsi
Papua telah dikenal luas oleh masyarakat international sebelum perang dunia
kedua. Pada awalnya minyak bumi merupakan komoditas yang paling menarik untuk
dieksploitasi. Seorang geologist yang bernama J.J Dozy dalam ekspedisinya pada
tahun 1936 Pegunungan Tengah dalam upaya pencarian minyak bumi, menemukan sebuah
bukit berbentuk seperti gigi
setinggi 131 yang kaya akan unsur tembaga. Kemudian ia mengambil sampel untuk di
kirim ke Universitas Leiden di Belanda. J.J Dozy menamakan bukit tersebut
Erstberg yang artinya Gunung Bijih. Pada tahun 1960 publikasi J.J Dozy tersebut
dibaca oleh Fobes Wilson dari Freeport Sulphur Co dan menindaklanjutinya dengan
meninjau bukit tersebut. la. Kemudian berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing, maka pada
tanggal 7 April 1967 ditandatanganilah Perjanjian Kontrak Karya antara
Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran Inc. Freeport mempunyai hak
ekslusif untuk mengelola daerah konsensi 10 x 10 Km2 atau seluas 100
km2 di sekitar Ertsberg. Sejak saat itulah pertambangan modern
dimulai di Provinsi Papua. Pada bulan Desember 1967 dimulailah
pemboran untuk melakukan studi kelayakan. Studi ini selesai 2 tahun
kemudian atau pada tahun 1969. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan tahap
kontruksi pada 1969 – 1972. Pada
tahun 1972 dimulailah pengapalan konsentrat tembaga untuk pertama kalinya ke
Hibi Jepang, sejak saat itu mulailah Provinsi Papua menjadi pengekspor
konsentrat tembaga. Produksi Freeport pada saat itu baru mencapai 8.000 ton
bijih/hari, kemudian meningkat menjadi 18.000 ton bijih/hari. Selama tahun 1967 – 1988, Freeport menemukan
sejumlah endapan tembaga dalam skala kecil seperti Gunung Bijih Timur,
Intermediate Ore Zone (IOZ), Deep Ore zone (DOZ), DOM. Kemudian Pada tahun 1988
Freeport menemukan adanya cebakan endapan tembaga dan emas dengan kadar yang cukup ekonomis
dengan cadangan lebih dari 400 MT yang merupakan endapan tunggal tembaga
terbesar. Untuk mengembangkan potensi tersebut diperlukan investasi yang cukup
besar, sehingga diperlukan adanya jaminan perpanjangan kontrak karya. Maka pada
30 Desember 1996 ditandatanganilah perpanjangan kontrak karya dengan pemerintah
Indonesia dengan membaginya menjadi 2 blok, yaitu blok A yang merupakan daerah
kontrak karya lama, dan blok B seluas 1,9 juta ha untuk Blok B. Keberhasilah Freeport menemukan sejumlah cadangan
endapan tembaga di daerah konsensinya dan adanya kesamaan sejarah geologinya
dengan Papua New Guinea (terdapat 13 Perusahaan tambang yang sudah berproduksi),
kemudian memicu perusahaan lain untuk menanamkan modalnya di Provinsi Papua.
Oleh karena itu tidak heran jika mulai dari 1996 terjadi “booming”
investasi pertambangan di Papua. Hingga akhir tahun 2000 paling tidak terdapat
22 perusahaan kontrak karya, 5 perusahaan Kuasa Pertambangan dan 3 perusahaan di
bidang pengusahaan batubara melakukan eksplorasi di Provinsi Papua . Dalam UU No. 11 tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan, investasi asing di bidang pertambangan umum dilakukan melalui
penerapan sistem Kontrak Karya (KK), yaitu perjanjian antara pemerintah dengan
investor yang berbadan hukum Indonesia, dimana pemerintah bertindak sebagai
pihak pemilik (principal) sedangkan
perusahaan pertambangan bertindak sebagai kontraktor. Perjanjian kontrak karya
secara khusus memberi hak tunggal kepada investor untuk melakukan penelitian
sumberdaya mineral yang terkandung dalam wilayah kontrak karya, dan kemudian
menambang, mengolah dan memasarkan endapan mineral yang ditemukan. Hak tunggal
ini diberikan sebagai konsekuensi atas kesediaan menanggung resiko atas
pelaksanaan kegiatan eksplorasi dimana resiko
kegagalannya sangat tinggi, disamping pemenuhan pembayaran pajak dan kewajiban
lainnya yang disebutkan dalam Kontrak Karya. Dalam
melaksanakan operasinya, pemegang Kontrak Karya mempunyai hak kendali dan
manajemen tunggal atas semua kegiatannya, termasuk mempekerjakan sub kontraktor
untuk melaksanakan tahap-tahap operasinya. Pemegang Kontrak Karya juga mempunyai
kewajiban seperti menanam modal, membayar pajak dan pungutan-pungutan lain,
kewajiban mengikuti standar pertambangan yang ditetapkan pemerintah, kewajiban
melaksanakan peraturan lingkungan hidup, dan kewajiban melaksanakan standar
keselamatan kerja dan kesehatan. Jika diperhatikan maka di masa
lalu, semua keputusan mengenai pengusahaan pertambangan selalu dilakukan di
Jakarta atau oleh Pemerintah Pusat. Peranan Pemerintah Daerah pada saat itu
hampir tidak ada. Hal ini menimbulkan adanya ketidak adilan di dalam pembagian
hasil dari pengusahaan sumber daya mineral tersebut. Padahal apabila kita
cermati, hampir semua akibat yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas tersebut
dipikul seluruhnya oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat yang ada di sekitar
lokasi penambangan. Hal ini sering menimbulkan konflik sosial dan
ketidakstabilan keamanan di sekitar lokasi kegiatan tambang. Dengan adanya UU
Otonomi daerah dan UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua memberikan kesempatan
yang luas bagi pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Provinsi Papua untuk
membuat kebijakan yang lebih adil, baik bagi masyarakat pemilik hak ulayat,
pemerintah daerah maupun bagi
perusahaan itu sendiri. Era konsep pertambangan barupun dimulai di Provinsi
Papua. Pada
saat ini tercatat 11 wilayah KP baru telah diberikan
oleh Gubernur Provinsi Papua dengan total luas 355.000 Ha, umumnya untuk
bahan galian emas dan batubara. Status
Pertambangan Umum
Di Provinsi Papua Era Otonomi Khusus Sampai
dengan akhir tahun 1999 di Provinsi Papua tercatat sebanyak 24 Wilayah Kontrak
Karya (KK) dan 3 Wilayah Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
serta 4 Wilayah Kuasa Pertambangan (KP). Berhubung
krisis multi dimensi yang terjadi secara nasional, tampaknya mempengaruhi
pertumbuhan iklim investasi pertambangan umum di Provinsi Papua. Kondisi bahkan
menyebabkan investasi pertambangan umum hingga tahun 2000 terhenti. Pada tahun
2001 sebanyak 17 wilayah KK
dan KP masih tersisa dalam tahap
penyelidikan umum/ eksplorasi dengan
status suspensi (penundaan kegiatan
sementara) dan 1 perusahaan eksploitasi (
PT. Freeport Indonesia ). Sejak
tahun 2002 investasi di bidang pertambangan umum
mulai giat kembali dengan tidak
memberlakukan izin pertambangan dalam
bentuk wilayah KK seperti sebelumnya. Perizinan yang diberlakukan adalah
KP yang nampaknya lebih menarik. Dalam bentuk KK dan PKP2B selalu lebih mudah
menimbulkan ketidak puasan di kalangan masyarakat. Hal itu disebabkan karena
seluruh tahap kegiatan pertambangan mulai dari tahap penyelidikan umum,
eksplorasi sampai tahap penambangan, pengolahan dan penjualan yang memerlukan waktu puluhan tahun telah ditetapkan/disepakati
sebelum kegiatan dimulai. Pengusahaan dalam bentuk KP lebih sesuai, karena
pengusahaannya ditetapkan/ ditentukan per tahap kegiatan. Dengan demikian akan
lebih mengikuti perkembangan keinginan masyarakat
sekitar pertambangan. Pembinaan
pertambangan dilakukan kepada pengusaha pertambangan terutama pertambangan
rakyat, maupun perorangan guna memperoleh data produksi, perlindungan kesehatan
dan keselamatan kerja para penambang. Kegiatan pembinaan dimaksudkan pula
untuk pemberdayaan ekonomi rakyat
di bidang pertambangan umum. Dari itu
telah dilakukan pembinaan yang meliputi aspek penyuluhan dan pengawasan
kepada masyarakat penambang yang memiliki izin ataupun tanpa izin. Kepada
masyarakat / perorangan pemilik hak ulayat bahan galian golongan C maupun bahan
galian emas diberikan bantuan peralatan teknik pertambangan yang dapat dikelola
oleh kelompok masyarakat ataupun perorangan pemilik bahan galian. Tercatat dalam
era Otsus telah diberikan bantuan peralatan teknik berupa palong (sluice box)
yaitu berupa alat pencuci / pemisah
butiran emas dan peralatan dulang, mesin pencetak batu tela,
mesin pemecah batu (stone crusher) ukuran sedang dan dapat
dipindah-pindahkan untuk dikelola
oleh kelompok masyarakat atau perorangan pemilik hak wulayat bahan galian
industri. Persyaratan
perizinan pertambangan bahan galian golongan C seperti penyusunan dokumen UKL/UPL
dan pengukuran wilayah pertambangan
yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat/perorangan
karena memerlukan
keakhlian dan dana yang cukup besar, telah
pula diberikan bantuan teknis untuk penyusunan dokumen UKL/UPL dan peta wilayah
pertambangan. Dengan demikian kesempatan
berusaha di bidang pertambangan umum pada era Otsus lebih terbuka bagi
masyarakat /perorangan. Pengawasan
produksi pertambangan untuk kepentingan konservasi bahan galian dilakukan
terutama pada produksi penambangan
dan produksi konsentrat tembaga dan emas yang dikapalkan dari tambang PT. Freeport Indonesia di kabupaten Mimika,
dengan maksud memaksimalkan produksi bijih
dan produksi konsentrat yang dikapalkan. Produksi bahan galian C
bervariasi dari pengusahaan berizin dan tak berizin. Untuk meminimalkan
kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan galian C dianjurkan kepada pemakai
untuk tidak membeli/memakai dari penambangan tidak berizin. Pertambangan
emas tanpa izin oleh masyarakat/perorangan setempat untuk menopang kehidupan
hari-hari dapat diterima tetapi bagaimana dengan retribusi/pajak bagi pemerintah
yang merupakan bagiannya sebagai penjamin kehidupan keseluruhan? Guna mendorong pertumbuhan investasi di bidang pertambangan umum diberikan pelayanan izin yang mudah, cepat, biaya iuran yang relative kecil, menyebar luaskan informasi potensi sumberdaya mineral di Papua. Pelayanan perizinan pertambangan umum yang dilakukan mengacu kepada Keputusan Gubernur Provinsi Papua No. 104 Tahun 2002 tanggal 6 Agustus 2002 Tentang Tata Cara Pemberian Kuasa Pertambangan Umum di Provinsi Papua sampai ada ketentuan lain. Sampai dengan awal Nopember 2004
|
Send mail to
pertambangan@papua.go.id with
questions or comments about this web site.
|